gilafilm

i think i wouldn't really consider myself a director. i still see myself as an audience member - an audience member who stepped behind a camera.

Jumat, 06 Juni 2008

63

”Simfoni desak-desakan, jubel-jubelan, gesek-menggesek hingga jepit-menjepit kembali bermain dalam irama kehidupan kota jakarta”

Di sebuah Bus kopaja yang sesak dipenuhi oleh manusia-manusia yang sedang mengejar impiannya.

Kondektur :

(berteriak pas disamping telinga wawan)

Ya!!.tolong..tolong...ya geser dikit ya!!!

Para penumpang pun terlihat diam tak ada yang bergeming. Bus pun melaju dengan kencang tak menghiraukan para penumpangnya yang tumpah-tindih, desel-deselan, jubel-jubelan hingga gesek-gesekan. Seorang pria berbadan kurus, membawa tas ransel hitam terjepit diantara sela-sela pintu dan bahu penumpang lain. Pria yang biasa dipanggil wawan ini memperhatikan kondektur yang keliatannya merasa nyaman diatas penderitaan penumpang bus.

Hawa panas mulai terasa. Keringat pun bercucuran. Berjatuhan membasahi pakaian-pakaian kebesaran dan melunturkan make-up – make-up dari wajah para penumpang.

Oksigen menipis. Bau tak sedap pun mulai tercium. Bercampur aduk menjadi aroma kehidupan yang menyatu di dalam bus. Sang sopir keliatannya cuek, Apalagi kondekturnya yang tidak pernah kasihan terhadap penumpangnya dijepit berjam-jam di atas sebuah bus. Tak ada angin kipas angin apalagi AC. Yang ada hanya ventilasi udara kecil diatas jendela dan dua pintu dibagian depan dan belakang. Hanya itulah sumber angin yang dipunya dari bus tua ini.

Macet. Sudah pasti, ini bukan menjadi hal yang baru bila anda termasuk orang yang berkantor di jam-jam neraka dipagi hari.

Bus pun berhenti dengan tiba-tiba. Beberapa orang penumpang memaksa diri untuk masuk ke dalam bus yang hampir meledak gara-gara over muatan.

Kondektur :

(berteriak lagi pas disamping telinga wawan)

ayo mas!!! Tolong mas , geser dikit mas...ayo mbak!! Geser dikit...

yang didalam..mas! mbak tolong mbak!!

Wawan yang berada tepat disamping mulut pak sopir langsung nyerocos.

Wawan :

(berteriak dimuka pak kondektur)

Udah penuh pak!!!

Kondektur :

(berteriak & pura-pura cuek)

Tolong ya mas!!! Tolong ya sama-sama butuh ya!!!

Ayo mas mbak yang di dalam geser dikit yo!!

Wawan pun terdiam. Mendengar kata ”sama-sama butuh” membuatnya berpikir. Sepertinya kata ini menjadi jurus ampuh bagi setiap kondektur untuk mengantisipasi penumpang seperti wawan. Kalau pun protes, sia-sia saja sebab tak ada bus lain yang lewat. Dan jalur ini hanya milik 63.

Para penumpang pun perlahan-lahan bergeser,mencoba memberikan ruang dengan memiringkan badan, merapat ke jendela, dan pasrah kejepit. Penumpang baru pun naik seolah-olah tak merasa bersalah. Cuek. Dingin. Asyik aja.

Bus pun jalan para penumpang pun kembali bergoyang layaknya rumput ditiup angin. Simfoni desak-desakan, jubel-jubelan, gesek-menggesek hingga jepit-menjepit kembali bermain dalam irama kehidupan kota jakarta. Suara klakson, bunyi mesin tua, suara kondektur turut ikut berkolaborasi. Kondektur pun bergerak masuk diantara celah-celah penumpang, bermain diantara ruang-ruang sempit sambil menarik ongkos dari para penumpang. Sebuah rute yang memang jadi favorit para kondektur. Terlihat sang kondektur tersenyum. Sebuah senyum kemenangan.

Wawan masih saja memperhatikan gerak-gerik kondektur. Sepertinya ia mulai memasrahkan tubuhnya untuk terjepit, merasakan sakit namun menikmatinya. Mungkin karena ia sudah lelah akibat dehidrasi. Mungkin saja dengan memilih diam dan menikmati tidak membuatnya kehilangan banyak energi. Ia pun belajar untuk bersabar, ikhlas dan mencoba menikmati setiap kondisi terburuk apapun dalam hidup ini.

Bus pun terjebak di tengah-tengah antrian mobil yang panjang. Hawa panas menyerang, oksigen menipis, tubuh pun terpanggang. Selamat menikmati!!!!.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda